Sebagai seseorang yang mungkin tumbuh dalam budaya yang lekat dengan jamu, atau setidaknya pernah mencicipinya, pertanyaan ini bisa jadi memancing rasa penasaran sekaligus menggelitik nurani. Apakah benar jamu yang diwariskan secara turun-temurun ini membawa potensi konflik dengan keyakinan agama tertentu? Atau mungkin, ada miskomunikasi yang perlu diluruskan?
Melalui tulisan ini, mari kita telaah bersama dengan hati terbuka—bukan hanya untuk mencari jawaban, tetapi juga untuk merangkai pemahaman yang lebih utuh tentang budaya, keyakinan, dan fakta ilmiah di balik segelas jamu tradisional. Mari kita mulai dengan menggali: apakah jamu tradisional selalu mengandung alkohol, dan jika iya, bagaimana Islam memandangnya?
ALKOHOL DALAM PROSES PEMBUATAN JAMU
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa alkohol dalam konteks jamu biasanya muncul karena proses fermentasi alami. Beberapa jenis jamu memang dibuat melalui metode fermentasi, terutama jamu yang mengandung bahan-bahan seperti ketan hitam atau ketan putih. Proses ini menghasilkan alkohol dalam jumlah tertentu. Namun, alkohol yang dihasilkan ini umumnya memiliki kadar yang sangat rendah, jauh di bawah batas yang dianggap memabukkan. Karena kandungan alkohol jenis ini bukanlah jenis khamr yang ditujukan untuk mabuk-mabukan.
Sebagai contoh, dalam pembuatan jamu beras kencur, fermentasi sering kali terjadi karena bahan-bahan yang digunakan memang harus melalui proses fermentasi terlebih dahulu. Fermentasi yang saya maksud disini adalah fermentasi tradisional atau secara alami, tidak seperti fermentasi pada proses pembuatan minuman keras seperti Vodka, Whiski, Rum, dan sebagainya. Proses ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan minuman beralkohol, melainkan untuk meningkatkan kandungan nutrisi jamu itu sendiri. Jadi, meskipun ada kandungan alkohol, hal ini tidak serta-merta menjadikannya termasuk kategori khamr, karena ada perbedaan mendasar antara alkohol sebagai hasil fermentasi untuk jamu tradisional dan alkohol yang digunakan dalam minuman keras semacam yang saya katakan tadi. Terutama nama-nama minuman keras seperti yang sudah saya sebutkan tadi memang dalam prosesnya sengaja dicampur dengan alkohol berjenis khamr dengan kadar alkohol setelah fermentasi, rata-rata pada angka 50%. Saya bisa menjelaskan seperti ini karena dulu sebelum saya masuk Islam pernah diajak oleh seorang teman melihat proses pembuatan minuman keras dan mencicipinya pada salah satu perusahaan senior di Indonesia yang sudah bergerak dibidang food & beverage sejak jaman kemerdekaan. Tapi berhubung sesuai peraturannya bahwa orang luar seperti saya memang dilarang masuk lokasi pabrik, akhirnya cuma melihat dari ruang security. Meskipun cuma dari ruang security, ternyata tampak jelas sekali. Ada satu proses yang melekat di ingatan saya, ternyata setelah fermentasi itu ada proses pemanasan yang menggunakan temperatur ekstrim, itulah kenapa kandungan alkohol dari berbagai minuman keras itu meningkat drastis menjadi sangat tinggi.
DEFINISI KHAMR DALAM AGAMA ISLAM
Dalam Islam, khamr merujuk pada segala sesuatu yang memabukkan dan mempunyai efek merusak jasmani dan rohani. Ini berarti, semua jenis minuman yang ditujukan untuk mabuk-mabukan atau bisa membuat mabuk si peminumnya disebut Khamr. Maka hasil fermentasi yang menjadi minuman beralkohol tinggi dan memabukkan seperti Topi Miring, Rum, Tequila, Sake, Anggur Merah (AMER), Anggur Putih, Whiski, Vodka, dan sejenisnya adalah termasuk KHAMR. Sedangkan hasil fermentasi dari ketan hitam dan umbi-umbian yang ditujukan untuk membuat jamu tradisional bukanlah termasuk ke dalam kategori khamr. Demikian juga untuk jenis alkohol yang dipergunakan oleh para teknisi komputer dan elektronika, alkohol untuk pembersih DVD, dan alkohol sebagai pelarut parfum, itu tidak termasuk kategori khamr. Para ulama pun memiliki pandangan yang beragam mengenai batasan ini, tergantung pada jenis, jumlah kandungan alkohol dan efeknya.
Saya rasa, penting untuk membedakan antara alkohol yang tidak memabukkan seperti pada jamu tradisional dengan minuman keras yang jelas-jelas dilarang. Alkohol dalam jamu tradisional biasanya hanya berupa produk sampingan dari proses fermentasi, dan umumnya tidak akan memberikan efek memabukkan saat diminum. Kecuali jika si penjual jamu secara terang-terangan mencampurkan minuman keras kemasan botol merek tertentu yang memang diproduksi oleh sebuah pabrik minuman keras dan berdalih agar jamunya lebih manjur, maka itu 100% HARAM.
APAKAH SEMUA JAMU MENGANDUNG ALKOHOL?
Menjawab pertanyaan ini, tidak semua jamu tradisional mengandung alkohol. Banyak jenis jamu yang dibuat tanpa proses fermentasi, seperti jamu kunyit asam, temulawak, dong kates, butrowali, atau daun sirih. Bahan-bahan ini biasanya direbus dan diolah secara langsung tanpa perlu menambahkan ragi atau bahan lain yang dapat memicu fermentasi.
Di sisi lain, beberapa jenis jamu seperti jamu beras kencur dan jamu sinom memang memiliki potensi mengandung alkohol akibat proses fermentasi alami. Namun, kadar alkohol ini sangat kecil dan tidak memabukkan. Saya merasa perlu menekankan bahwa jika kita membeli jamu dari penjual tradisional atau membuatnya sendiri di rumah, kandungan alkohol ini hampir tidak signifikan dan sering kali tidak disadari.
PERSPEKTIF HUKUM DAN KESEHATAN
Dari segi hukum, jamu tradisional tidak dikategorikan sebagai minuman beralkohol selama kadar alkoholnya berada di bawah ambang batas tertentu. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengatur kadar alkohol yang diperbolehkan dalam produk minuman tradisional, termasuk jamu. Aturan ini dibuat untuk memastikan keamanan konsumen sekaligus melindungi tradisi warisan budaya.
Dari sudut pandang kesehatan, alkohol dalam jumlah kecil yang terdapat dalam jamu hasil fermentasi tidak membahayakan tubuh. Bahkan, fermentasi bisa meningkatkan kandungan probiotik yang bermanfaat bagi pencernaan. Namun, tentu saja, konsumsi jamu tetap harus dilakukan dengan bijak, sesuai dengan anjuran dan kebutuhan tubuh masing-masing.
MENJAGA TRADISI DENGAN BIJAK
Menurut saya, isu alkohol dalam jamu tradisional seharusnya tidak menjadikan kita ragu untuk menikmati warisan nenek moyang ini. Sebaliknya, hal ini mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam memahami proses pembuatan dan kandungan yang ada di dalamnya. Sebagai umat yang beragama, kita juga diajarkan untuk berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh asumsi yang belum tentu benar.
Jika masih ada keraguan, kita bisa memilih jenis jamu yang tidak melalui proses fermentasi atau membuat jamu sendiri di rumah dengan cara menumbuk atau merebus. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa jamu yang kita konsumsi benar-benar sesuai dengan keyakinan dan kebutuhan kita. Selain itu, penting juga untuk mendukung produsen jamu tradisional lokal yang mengutamakan kualitas dan kehalalan produk mereka.
AKHIR KATA
Jadi, apakah jamu tradisional selalu mengandung alkohol jenis khamr? Jawabannya adalah tidak. Tidak semua jamu tradisional mengandung alkohol, dan jika pun ada, biasanya dalam kadar yang sangat kecil dan tidak memabukkan. Alkohol dalam jamu tradisional umumnya hanyalah produk sampingan dari proses fermentasi alami, bukan tujuan utama dari pembuatan jamu itu sendiri.
Sebagai konsumen, kita sebaiknya lebih bijak dalam memilih dan memahami produk jamu yang kita konsumsi. Jangan sampai keraguan yang tidak berdasar membuat kita kehilangan manfaat besar dari jamu tradisional yang sudah menjadi bagian dari identitas budaya kita. Ingatlah, jamu bukan sekadar minuman kesehatan, tetapi juga cerminan kearifan lokal yang patut kita jaga dan lestarikan.
Posting Komentar