Apakah Sebenarnya Sekolah Fullday Sudah Tepat Untuk Indonesia? (Opini Pribadi 15) - JATIGIFT

Apakah Sebenarnya Sekolah Fullday Sudah Tepat Untuk Indonesia? (Opini Pribadi 15)



Jika kita berbicara tentang pendidikan di Indonesia, penerapan sekolah fullday selama lima hari untuk tingkat SD hingga SMA adalah isu yang menarik sekaligus menantang. Wacana ini sering muncul sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyelaraskannya dengan jam kerja orang tua. Namun, jika dilihat dari standar SDM (Sumber Daya Manusia) dan tingkat ekonomi masyarakat di Indonesia, apakah kebijakan ini sudah tepat untuk diterapkan? Dalam opini saya, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat keputusan sebesar ini. Menurut saya pribadi, kebijakan yang sudah berlangsung selama ini belum sepenuhnya tepat jika diterapkan di negara kita, karena SDM kita dan tingkat ekonomi masyarakat kita belum sepenuhnya mampu untuk melaksanakannya. 

Perlu saya tekankan disini bahwa saya adalah masyarakat biasa yang melihat segala sesuatu berdasarkan pemikiran saya sebagai rakyat biasa, bukan sebagai orang kaya yang memiliki segalanya. Saya akan mulai mengeluarkan uneg-uneg saya yang akan saya mulai dari kesiapan SDM negara kita. Nanti kita bisa berdiskusi secara pribadi via menu 'contact me' karena saya sengaja menghilangkan kolom komentar yang biasanya dipenuhi dengan iklan kurang bermutu dan komen-komen sarkasme.


KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA

Pertama-tama, mari kita lihat dari sisi tenaga pendidik. Guru adalah elemen utama yang akan menopang keberhasilan sistem sekolah fullday. Fullday school berarti guru harus mengajar lebih lama, memberikan perhatian penuh kepada siswa sepanjang hari, dan merancang kegiatan yang variatif agar siswa tetap aktif dan terlibat. Masalahnya, banyak guru di Indonesia yang masih menghadapi keterbatasan dalam pelatihan dan pengembangan profesional. 

Dari salah satu kasus yang terjadi pada teman saya beberapa tahun yang lalu (sekarang pun masih terjadi), pelatihan dan pengembangan profesional biasanya dilaksanakan setelah jam mengajar selesai. Dengan kata lain seperti ini: Teman saya, sebut saja namanya 'A' selalu selesai mengajar pada pukul 15.00 WIB, seringkali kalau dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi bisa sampai dirumah pukul 15.30 WIB. Tetapi kalau dia kelelahan maka tidak berani ngebut, akhirnya sampai dirumah bisa satu jam kemudian. Sedangkan pelatihan dan pengembangan profesional, pada waktu itu selalu dimulai pukul 19.00 WIB sampai 21.00 WIB, padahal biasanya dia harus membantu istrinya menutup warung makan dan beres-beres dari pukul 20.00 WIB sampai 21.00 WIB. Tenaga sudah terlalu banyak dicurahkan untuk mengajar dan menambah pemasukan rumah tangganya. Alhasil, semua pelatihan dan pengembangan profesional yang dia ikuti hanya terasa seperti sebuah basa-basi saja karena dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk istirahat, sehingga caranya mengajar pun tidak banyak berubah.

Selain apa yang dialami teman saya tersebut, beberapa guru bahkan masih dibebani dengan tugas administratif yang menyita waktu. Jika sistem ini diterapkan tanpa adanya peningkatan kapasitas guru, dikhawatirkan mereka akan mengalami 'BURNOUT'. Apalagi, distribusi guru yang kompeten belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Di kota besar, mungkin ini bisa berjalan dengan baik, tetapi bagaimana dengan daerah terpencil yang masih kekurangan tenaga pengajar?

Selain itu, sekolah juga membutuhkan tenaga pendukung, seperti staf kebersihan, keamanan, dan administrasi, untuk menjaga operasional berjalan lancar. Sayangnya, banyak sekolah di daerah yang bahkan belum memiliki fasilitas dasar, apalagi tenaga pendukung yang memadai. Banyak sekali guru yang merangkap jadi tukang bersih-bersih sekolah, lalu apakah mereka bisa berkonsentrasi dengan baik saat mengajar? TIDAK!


INFRASTRUKTUR SEKOLAH YANG BELUM MERATA

Kondisi fasilitas sekolah di Indonesia juga menjadi sorotan utama. Tidak semua sekolah memiliki infrastruktur yang mendukung penerapan sistem fullday. Ruang kelas yang nyaman, kantin yang layak, toilet yang bersih, dan ruang istirahat adalah elemen penting untuk memastikan kenyamanan siswa. Namun, kenyataannya, masih banyak sekolah yang belum memenuhi standar ini. Semoga saja menteri pendidikan tidak selalu melihat sekolah di kota-kota besar yang selalu rapi dan 'berkelas' tetapi lebih banyak melihat sekolah-sekolah yang hampir roboh atapnya di desa-desa dan tempat-tempat terpencil.

Sebagai contoh, di beberapa daerah terpencil, siswa masih belajar di ruang kelas yang kurang memadai. Bahkan, ada sekolah yang kekurangan meja dan kursi. Jika sekolah fullday diterapkan tanpa adanya perbaikan infrastruktur, siswa bisa merasa tertekan dan justru kehilangan semangat belajar. Apalagi saat musim hujan, banyak sekolah di lokasi-lokasi terpencil yang atapnya bocor, sehingga anak-anak dan gurunya beraktifitas di sudut-sudut kelas yang tidak bocor (di Youtube banyak yang seperti ini). Oleh karena itu, pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan harus menjadi prioritas sebelum kebijakan ini diberlakukan.


DAMPAK EKONOMI PADA ORANG TUA SISWA ATAU WALI MURID

Selanjutnya, kita perlu melihat bagaimana kebijakan ini memengaruhi ekonomi keluarga. Fullday school mungkin terasa ideal bagi keluarga di perkotaan dengan pola kerja 9-to-5, tetapi bagi masyarakat di pedesaan atau yang bekerja di sektor informal, situasinya bisa berbeda. Banyak orang tua yang mengandalkan anak-anak mereka untuk membantu pekerjaan rumah atau mendukung usaha keluarga setelah pulang sekolah. Sekolah pukul 07.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB, sepulang sekolah bisa membantu orang tuanya jualan, bekerja di sawah, atau menggembala kambing yang nantinya bisa dijual saat hari raya kurban dan hasilnya bisa untuk uang saku atau membeli buku pelajaran.

Jika anak-anak harus berada di sekolah sepanjang hari, mereka akan kehilangan waktu untuk membantu keluarga. Bagi sebagian orang tua, hal ini bisa menjadi beban tambahan, terutama jika mereka harus menyediakan biaya makan siang tambahan untuk anak di sekolah. Tetapi apabila program 'Makan Siang Gratis' bisa segera diwujudkan maka hal itu pasti akan sangat membantu para wali murid yang harus merelakan anak-anak mereka untuk bersekolah 'fullday' asalkan pajak jangan dinaikkan. Akibat jangka pendek yang langsung terasa apabila pajak dinaikkan adalah adanya penurunan omzet bagi kalangan pengusaha, adanya pengurangan pendapatan bagi para karyawan swasta, adanya kenaikan BBM dan BBG, adanya kenaikan harga sembilan bahan pokok, adanya kenaikan biaya pendidikan di semua sekolah dan universitas swasta, dan lain sebagainya. Selain itu, tidak semua sekolah memiliki kantin yang memadai atau mampu menyediakan makanan sehat dengan harga terjangkau. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga dengan penghasilan rendah.


KESEIMBANGAN WAKTU BELAJAR DAN BERMAIN

Anak-anak, terutama di usia SD, membutuhkan waktu bermain untuk mendukung perkembangan fisik, sosial, dan emosional mereka. Jika waktu mereka dihabiskan di sekolah sepanjang hari, ada kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk bermain bebas dan menjalin hubungan dengan lingkungan sekitar.

Beban belajar yang terlalu berat juga bisa memengaruhi kesehatan mental siswa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak tekanan akademik dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi pada anak-anak. Oleh karena itu, jika sekolah fullday diterapkan, kurikulum harus dirancang dengan seimbang, mengintegrasikan waktu untuk istirahat, bermain, dan kegiatan non-akademik.


TIDAK SESUAI DENGAN BUDAYA DAN TRADISI LOKAL

Indonesia memiliki keragaman budaya yang kaya, dan sistem pendidikan harus dapat menyelaraskan dirinya dengan nilai-nilai lokal. Di beberapa daerah, kegiatan seperti membantu orang tua di ladang atau menghadiri acara adat adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Sekolah fullday berpotensi mengurangi waktu mereka untuk kegiatan-kegiatan tersebut, yang pada akhirnya bisa memengaruhi kelangsungan tradisi budaya setempat.

Selain itu, tidak semua masyarakat siap secara budaya untuk menerima perubahan ini. Sosialisasi yang masif dan dialog dengan berbagai pihak, termasuk orang tua, guru, dan tokoh masyarakat, sangat diperlukan agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik dan bisa selaras dengan budaya lokal.


APA YANG BISA DILAKUKAN?

Sebetulnya sudah terlambat, tapi masih bisa dikejar oleh para pembuat keputusan di negeri ini. Menurut saya, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan sebelum Indonesia menerapkan sistem sekolah fullday secara menyeluruh:

1) Peningkatan Kualitas Guru

Pemerintah harus memastikan bahwa guru mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mendukung sistem ini. Selain itu, beban kerja guru harus dikelola dengan baik agar mereka tidak kelelahan. Berikan waktu kepada guru untuk menjadi manusia seutuhnya, waktu untuk bersantai, waktu untuk bergaul dengan masyarakat, dan waktu untuk berduaan dengan pasangan resminya. Sekolah fullday sudah merenggut kebebasan itu dari mereka, akibatnya mereka menjadi semakin tertekan dalam menjalani kehidupan mereka sebagai pendidik anak bangsa. Jangan disamakan dengan negara maju yang fasilitasnya sangat lengkap dan secara psikologis sudah siap melaksanakan program fullday school. Budaya kita berbeda 180 derajat, Bung!

2) Pembangunan Infrastruktur

Pemerataan fasilitas sekolah dan akses jalan menuju ke sekolah di Indonesia harus menjadi prioritas utama, baik di kota-kota besar maupun daerah terpencil. Khususnya di desa-desa terpencil yang para siswanya sampai harus naik turun tebing, mendaki gunung dan melewati lembah ketika ingin mengenyam pendidikan. Pemerintah perlu memastikan setiap sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar. Jangan sampai ada lagi sekolah yang kekurangan bangku, mengalami kerusakan atap seperti bocor, atau bahkan tidak memiliki toilet yang layak. Fasilitas yang tidak memadai bisa menghambat kenyamanan belajar siswa dan berdampak pada kualitas pendidikan secara keseluruhan. Dengan membangun infrastruktur pendidikan yang merata, anak-anak di seluruh pelosok negeri akan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Langkah ini penting untuk menciptakan generasi penerus yang kompeten dan mampu bersaing di tingkat global.

3) Kurikulum yang Seimbang

Kurikulum pendidikan harus dirancang secara seimbang untuk mengintegrasikan waktu belajar, bermain, dan istirahat secara proporsional. Pendekatan ini berfokus pada pencapaian akademik. pengembangan karakter, dan keterampilan siswa. Dengan memadukan ketiga aspek tersebut, siswa dapat belajar dengan lebih efektif tanpa merasa terbebani, sekaligus mengasah kemampuan sosial, emosional, dan kreativitas mereka. Kurikulum yang dirancang secara holistik akan menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan dan mendukung potensi siswa secara menyeluruh. Selain itu, keseimbangan ini juga penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik siswa, yang merupakan fondasi utama untuk keberhasilan pendidikan jangka panjang.

4) Sosialisasi dengan Masyarakat

Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ini. Dengan begitu, semua pihak dapat merasa memiliki dan mendukung program ini.


AKHIR KATA

Dari sudut pandang saya, Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menerapkan sekolah fullday selama lima hari di seluruh tingkatan pendidikan. Standar SDM dan infrastruktur yang belum merata, ditambah dengan tantangan ekonomi dan budaya, membuat kebijakan ini sulit untuk diimplementasikan secara efektif. Namun, bukan berarti ide ini sepenuhnya buruk. Dengan persiapan yang matang, pilot project di daerah tertentu, dan evaluasi yang berkelanjutan, sekolah fullday bisa menjadi solusi yang baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Yang terpenting adalah memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya terlihat baik di atas kertas saja. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan suara Anda penting untuk masa depan anak-anak Indonesia.

Posting Komentar