Pengalaman Horror 10 Tahun Yang Lalu Ketika Pulang Kampung (Opini Pribadi 5)
Cermin, bagi sebagian besar orang, mungkin hanyalah benda biasa yang digunakan untuk memeriksa penampilan. Namun, bagi saya, cermin adalah sesuatu yang jauh lebih dari itu.....Sebentar, barangkali akan lebih baik kalau saya menceritakan sedikit tentang identitas dan latar belakang profesi saya. Saat itu tahun 2014, usaha saya mengalami penurunan omzet yang akhirnya memaksa saya untuk menjadi karyawan di sebuah perusahaan ekspor furniture di Bantul (DIY) yang berlokasi kurang lebih 150 meter sebelah utara SPBU Pucung, dengan menjadi seorang QC selama beberapa bulan. Saya tidak perlu menyebutkan apa nama perusahaannya, inisialnya 'C' yang semua produknya mirip barang-barang primitif. Disana saya memiliki dua orang teman yang sudah saya anggap sebagai saudara, namanya pak YR dan pak SN (dua-duanya berprofesi sebagai security perusahaan). Sedangkan sesama staf di kantor ada pak S yang pinter bahasa Sunda, beliau sebagai orang kepercayaan si Boss Besar. Kemudian ada mbak V yang kalem dan bijaksana, mbak L yang tegas dan baik hati, dan satu lagi.....mbak A yang berpenampilan menarik dan smart tapi judes (>_<).....maafkan saya sore itu membentak Anda, itu terjadi karena si Boss menekan saya dan you kept reminding me about the deadline......Nah, saya bekerja di perusahaan itu beberapa bulan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa ke Jepang dari mantan Boss saya. Begitulah sedikit latar belakang saya.
AWAL TERJADINYA PENGALAMAN HORROR
Semuanya berawal dari ketika saya pulang kampung. Setelah satu hari menghirup udara bebas dari rutinitas bekerja, tiba saatnya untuk merasakan keheningan malam, menyendiri di kamar dan mengistirahatkan pikiran sampai tertidur. Saya akan menceritakannya berdasarkan memori yang masih bisa saya ingat. Begini, pengalaman yang saya alami pada suatu malam, tepat pukul 00.00 WIB sepuluh tahun yang lalu, kira-kira selisih satu hari menjelang pelantikan Bapak Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia untuk pertamakalinya pada bulan Oktober 2014, membuat saya bertanya-tanya apakah dunia yang kita kenal ini hanyalah satu dari sekian banyak dimensi yang ada. Mungkin terdengar aneh atau mengada-ada atau bahkan HOAX, tapi malam itu, saya benar-benar merasakan sesuatu yang tak masuk akal. Semua bermula saat saya menyisir rambut di depan cermin, dan bayangan saya di cermin mulai bertingkah tidak seperti biasanya.
Malam itu, suasana rumah sudah sunyi. Lampu kamar saya temaram, memberikan sedikit cahaya yang memantul di cermin besar di sudut ruangan. Saya baru saja selesai menyisir rambut, ketika sesuatu yang aneh terjadi. Biasanya, bayangan di cermin akan mengikuti setiap gerakan saya dengan sempurna, tanpa jeda atau kesalahan. Tapi malam itu berbeda. Begitu saya menurunkan tangan dari rambut, bayangan saya di cermin tidak berhenti menyisir. Ia tetap melanjutkan gerakannya seolah-olah tidak peduli dengan kenyataan yang saya alami. Seketika bulu kuduk saya merinding.
Saya menatap cermin itu dengan tatapan kosong, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Saya dekatkan wajah saya ke cermin dalam jarak 2 centimeter dari ujung hidung saya. Dalam hati, saya berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah efek lelah atau imajinasi semata. Namun, semakin lama saya menatap, semakin nyata perasaan bahwa bayangan di cermin itu bukan lagi sekadar pantulan. Saya bisa melihat ekspresi di wajah bayangan saya yang, entah bagaimana, tampak lebih serius dan jauh lebih tajam daripada wajah saya sendiri. Seolah-olah dia sadar bahwa saya sedang mengamatinya.
Waktu terasa melambat. Saya ingin berteriak, ingin lari dari ruangan itu, tetapi tubuh saya seperti membeku. Ada daya tarik aneh yang memaksa saya untuk terus melihat ke dalam cermin. Saat itu, pikiran saya berputar-putar, membayangkan berbagai kemungkinan. Apakah mungkin ada dimensi lain yang hidup di balik cermin? Dimensi keempat, yang selama ini hanya menjadi bahan diskusi dalam teori dan cerita fiksi, tiba-tiba terasa begitu dekat dan nyata. Saya mulai memikirkan cerita-cerita lama tentang cermin sebagai portal ke dunia lain, tempat di mana waktu dan ruang bekerja dengan cara yang berbeda.
Bayangan saya di cermin akhirnya berhenti menyisir rambut. Namun, alih-alih berakhir, keadaan semakin menyeramkan. Bayangan itu menatap langsung ke arah saya, dengan tatapan yang tajam dan dalam. Saya merasa seperti ditelanjangi oleh matanya, seolah-olah ia tahu segala hal tentang saya, termasuk ketakutan terdalam yang saya miliki. Detik itu, saya sadar bahwa bayangan itu bukan sekadar pantulan. Ia adalah sesuatu yang lebih dari sekadar refleksi, mungkin bagian dari dimensi lain yang saya tidak pernah pahami.
Rasa dingin menjalar di punggung saya. Pikiran saya berkecamuk. Apakah ini nyata? Bagaimana jika cermin benar-benar menjadi pintu ke dimensi keempat? Berbagai cerita menyeramkan tentang cermin yang saya dengar selama ini seolah-olah terngiang kembali. Ada yang mengatakan bahwa cermin bisa menyimpan jiwa-jiwa, ada pula yang percaya bahwa di balik cermin, ada makhluk lain yang mengamati kita. Malam itu, semua teori itu terasa tidak lagi sekadar mitos.
Perlahan, saya mencoba menggerakkan tubuh saya. Tangan saya bergetar saat saya mengulurkan tangan ke arah cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan itu akan mengikuti gerakan saya seperti biasa. Namun, yang terjadi justru semakin membuat saya bingung dan takut. Bayangan saya mengulurkan tangannya dengan cara yang sedikit berbeda. Gerakannya lambat, seperti sengaja ingin menunjukkan bahwa ia tidak terikat dengan gerakan saya. Ketika ujung jari kami hampir bersentuhan dengan permukaan cermin, saya merasa ada sesuatu yang dingin di sisi lain, seperti udara beku yang menyusup melalui celah tak terlihat.
Saya menarik tangan saya dengan cepat dan mundur beberapa langkah. Pikiran saya hanya satu: keluar dari ruangan itu secepat mungkin. Namun, sebelum saya sempat melangkah, bayangan di cermin tersenyum. Bukan senyum ramah, tetapi senyum yang membuat darah saya berdesir. Itu adalah senyum yang penuh misteri, seolah-olah ia tahu sesuatu yang saya tidak ketahui.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Pikiran tentang bayangan yang tidak wajar di cermin terus menghantui saya. Saya mulai bertanya-tanya, apakah kita benar-benar tahu apa yang ada di balik cermin? Apakah cermin hanyalah alat untuk memantulkan cahaya, atau sebenarnya ia menyembunyikan rahasia dimensi lain yang tak pernah kita pahami? Kejadian malam itu membuat saya berpikir bahwa ada begitu banyak hal di dunia ini yang belum kita ketahui. Mungkin, kita hanya menyentuh permukaan dari sebuah misteri besar.
AKHIR KATA
Sejak malam itu, saya tidak pernah lagi melihat cermin dengan cara yang sama di tengah malam. Setiap kali saya berdiri di depan cermin, ada rasa waspada yang muncul. Saya selalu memastikan gerakan saya dan bayangan saya tetap selaras. Dan jika ada sedikit saja perbedaan, saya tahu apa yang harus saya lakukan—menjauhkan diri secepat mungkin. Karena siapa tahu, mungkin saja di dalam cermin itu, ada sesuatu yang terus mengamati kita dari balik dimensi yang berbeda. Apakah pengalaman yang saya ceritakan tadi terlihat berlebihan? Iya, mungkin terlihat berlebihan, tetapi itulah yang pernah saya alami sendiri 10 tahun yang lalu. Kalian percaya atau tidak itu bukan urusan saya, siapa tahu kalian juga akan mengalami hal yang sama secara tidak sengaja.....iya, secara tidak sengaja. Sekian.
Komentar